Masyarakat pantai utara Cirebon, yang terkenal
dengan udang dan petisnya, bermata pencaharian utama bertani dan melaut sejak
zaman dulu sudah berkembang. Dalam usaha bertani dan melaut pada zaman sebelum
Islam, mereka terikat keparcayaan agama nenek moyang. Pada masa itu masyarakat
percaya kepada dewa penguasa bumi, dewa penguasa laut, dan sebagainya. Mereka
menganggap para dewa itu sebagai sesembahan. Keyakinan atas adanya dewa
tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka
percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang
murka dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.
Ketika Islam masuk, tradisi itu sangat
mendapatkan perhatian. Kepercayaan akan dewa-dewa digantikan dengan iman kepada
Tuhan. Menurut Islam, hanya Allah yang patut disembah. Sesembahan kepada dewa
pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali caranya, tetapi diubah
substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk
upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada
pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482–1568 M), tempatnya
di Puser Bumi.
Puser Bumi adalah sebutan untuk pusat kegiatan
atau pusat pemerintahan Wali Sanga. Mengenai kedudukan Puser Bumi, ada
penjelasan bahwa setelah Sunan Ampel wafat pada 1478 M, dipindahkan dari Ampel
(Jawa Timur) ke Cirebon yang letaknya di Gunung Sembung—sekarang disebut Astana
Gunung Jati.
De nika susuhan jati, hana ta sira maka
purohitaning sakwehnya Dang Accaryagameslam rat jawa kulwam, mwang para wali
ing jawa dwipa, muwah ta sira susuhan jati rajarsi. Susuhan jati adalah
pimpinan para guru agama islam di Jawa Barat dan pimpinan para wali di Pulau
Jawa, beliau adalah raja resi (PNK oleh P. Wangsakerta 1677 M sarga IV halaman
2). Upacara adat sedekah bumi dilaksanakan pada cawu ke 4 (bulan oktober)
setiap tahunnya.
Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh
desa-desa di Cirebon, misalnya yang masih kuat melaksanakan tradisi ini adalah
Desa Astana Gunung Jati yang termasuk kedalam kecamatan Gunung Jati sekarang.
Sebagai pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana Gunung Jati
berikut para kraman. Pelaksana adat juga didukung oleh para pemuka masyarakat
dan tokoh agama di desa-desa yang berkaitan dengan Keraton Cirebon, mereka
disebut Prenata. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu
mengambil ikan dari balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa
Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki
Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata
dan para pemuka adat lainnya, dalam Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah
bumi.
Maka sejak ditetapkannya hari pelaksanaan itu,
disebarkanlah secara getok tular kepada seluruh penduduk bahwa akan diadakan
Sedekah Bumi, melalui para pemuka adat penduduk mengirimkan “Gelondong
Pengareng-areng”. Gelondong Pengareng-areng adalah penyerahan secara sukarela,
sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa
hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah seperti
ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas
tanah seperti buah-buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam, Itik,
Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai
nelayan, mengirimkan hasil tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan
berbakti kepada kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena
paksaan atau peraturan tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri
dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-aturan tidak tertulis.
Kaitannya dengan upacara Sedekah Bumi
Pelaksanaan yang merupakan tradisi masyarakat
Cirebon ini sebenarnya merupakan Larungan dan Nadran yang kemudian disebut
sedekah Bumi sangatlah begitu sakral dan memiliki nilai-nilai spiritualitas
yang tersembunyi disela-sela acara ritual pelaksanaan pesta rakyat, sekaligus
pembuktian adanya ajaran islam yang mengilhami pelaksanaanya. Termasuk dalam
pakaian yang digunakannya, kuwu (kepala desa) menggunakan Iket (blangkon), baju
takwa lurik dasar kuning, kain panjang, sumping kembang melati, memegang Teken
(Tongkat paling tinggi ± 60 cm). Ibu Kuwu berbaju kurung, kain panjang, sumping
melati, gulung kiyong, selendang jawana.
Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan
Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan tanah, kemudian diadakan arak-arakan
yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan
yang berlangsung di Alun-alun Gunung Sembung, misalnya kesenian rentena, reog,
genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung bungko, wayang, bahkan
sekarang ini ado pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam pertunjukan
wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi
Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan. Dalam lakon Bhumi Loka
diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu Nirwata
Kwaca. Terjadilah peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin Gatotkaca.
Prabu Kresna dan Semar mengetahui putra Gatotkaca mendapat kesulitan untuk
dapat mengalahkan mereka, bahwa para putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati
selama menyentuh bumi. Maka semar menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di
angkasa, dan menyimpan mereka yang telah mati agar tidak dapat menenyentuh
bumi. Prabu Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk membuat Anjang-anjang tersebut
di angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua akhirnya
terbunuh oleh Gatotkaca , diatas Anjang-anjang yang telah dipersiapkannya.
Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug kidul. Lokawati
terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap, loka
sengara mati terbunuh menjadi Gledeg dan Lokaditya mati terbunuh menjadi
Gelura. Habislah para putra Manik Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian
mereka menjadi penyebab datangnya musim penghujan.
Dari mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi
dijadikan oleh kepercayaan masyarakat untuk menyambut datangnya musim
penghujan.
Namun dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari
Sedekah Bumi sudah bergeser dari makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony
rutinitas biasa sekarang Sedekah Bumi menjadi daya tarik pariwisata oleh
pemerintah. Terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang setiap diadakaanya
Sedekah Bumi, yang maksud dan tujuannya pun berbeda pula. Namun, paling tidak
tradisi ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Plato tata
masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami perubahan
terhadap pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambahkan
konservasi dari pada perubahan.
Tradisi membentuk kehidupan yang ideal
Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam membangun kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu
dan agama. Ilmu dan Budaya juga berproses dari belahan otak manusia. Ilmu
berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun kemampuan berpikir ilmiah,
kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk kedalam salah
satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh karena, salah satu
upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah
dengan menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan lokal dalam kurikulum,
mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan sampai ketingkat SMA. Harapannya adalah agar
tidak membiarkan dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan
ditandai munculnya budaya-sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan
(Counter-Culture) yang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sebab
dengan terbengakalainya pengembanagan kebudayaan bisa berakibat terjadinya
kegersangan dalam proses pengalihannya dari satu generasi kegenarasi bangsa
selanjutnya. Selain itu juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak akan
melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa
humanis serta merasa memiliki bahwa Cirebon sebagai pusat peradaban sejarah dan
budaya Islam ditanah jawa.
Pengenalan terhadap beberapa situs dan benda
cagar budaya dikalangan pemuda juga sangat memperihatinkan, padahal Cirebon
sangat kaya sekali akan situs dan kebudayaannya seperti, situs keraton, situs
makam Sunan Gunung Jati dan beberapa situs yang menjadi petunjuk akan
perkembangan Islam di tatar Jawa. Apalagi Cirebon sebagai kota budaya dan
pariwisata diharapkan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tradisi dan budaya
khas Cirebon baik yang melekat pada masyarakat Cirebon, untuk dikemas menjadi
komoditi pariwisata dalam skala regional, nasional maupun internasional. Selain
itu juga Cirebon sebagai kota industri, yang berlatar belakang sejarah budaya
dan tradisi diharapkan akan berkembang menjadi industri kecil padat kaya
(kerajinan, tradisional) yang berorientasi ekspor, sehingga berkembang industri
pariwisata sebagai pendukung kota budaya dan pariwisata.
Pelestarian tradisi ini akan menjadikan kehidupan
masyarakat yang masih menghormati tradisi leluhur dan tetap akan
melestarikannya seperti kata ini Ketahuilah, bahwa yang terpenting bukan hanya
“bagaimana belajar sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari sejarah”.
Soekarno menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah). Bahkan, seorang Cicero begitu menghargai sejarah dengan menyebutnya
sebagai “Historia Vitae Magistra” (Sejarah adalah Guru Kehidupan), sedangkan
Castro berteriak dengan lantang di pengadilan: “Historia Me Absolvera !!!”
(Sejarah yang akan Membebaskanku!!!). Haruskah kita menyingkirkan sejarah?,
bored with history?, hated social scientific history?….( Mulyanto SWA)
*Penulis adalah Pegiat Lingkar Studi Sastra (LSS)
Cirebon
Sumber : http://lingkarsastra.blogspot.com
Sumber : http://blesak.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar