Busana pengantin Cirebon ada dua macam, yang berwarna hijau kombinasi ungu dengan model kemben dan dilengkapi teratai yang sewarna dengan kemben pada bahu dan dadanya, disebut pakaian pengantin corak kebesaran. Sedangkan yang model kebaya dan jas dari beludru hitam atau hijau disebut busana pengantin bercorak kepangeranan.
Sejak setelah tahun 1985, busana
pengantin yang lazim digunakan oleh dua keraton Cirebon yakni Kasepuhan dan
Kanoman ditetapkan sebagai busana pengantin Cirebon maka busana pengantin kedua
keraton tersebut kini resmi sebagai busana adat pengantin Cirebon. Karena
berasal dari dua keraton maka busana pengantin Cirebon pun terbagi menjadi dua
macam yakni busana pengantin kepangeranan yang berasal dari keraton Kasepuhan
dan busana pengantin kebesaran yang berasal dari keraton Kanoman. Tapi, karena
kedua keraton tersebut yang memang pada awalnya merupakan keraton yang sama
maka tak heran kiranya jika kemudian aksesoris yang dipakai dalam busana
pengantin kedua keraton itu memiliki kesamaan satu sama lain, pun begitu dengan
makna-makna dari simbol yang terkandung di dalamnya.
1. Busana Pengantin Wanita
Busana yang dikenakan oleh pengantin
wanita untuk menutup bagian atas tubuhnya digunakan kemben hijau yang
berhiaskan manik-manik warna keemasan, dan untuk menutup bagian bawah sendiri
digunakan kain berlancar dan dodot Cirebonan dengan warna dasar violet muda
yang diberi motif dengan bentuk besar-besar di setiap pojokannya. Sedangkan
untuk bagian dada hingga ke leher digunakan tratean, yaitu sebuah kain yang
berbentuk melingkar yang fungsinya untuk menutup bagian dada, bahu hingga ke
belikat. Untuk warna, motif dan bahan yang digunakan untuk teratean ini
disesuaikan dengan motif, warna dan bahan yang digunakan untuk kemben agar
terlihat senada dan tak terkesan tumpang tindih. Makna yang terkandung dalam
teratean ini sendiri adalah berasal dari kata teratai yaitu sejenis bunga yang
tumbuh di air dan Lumpur tapi memiliki bunga yang sedemikian indah. Jadi dengan
kata lain, makna dari teratean ini adalah bahwa pengantin wanita ini ibarat
bunga teratai yang sedang mekar, dan tak penting lagi seperti apa asal-usulnya,
dari mana ia berasal, dan sebagainya.Untuk aksesoris yang dipakai pengantin wanita sendiri adalah antara lain mahkota suri berhias permata asem jarot yang dikenakan di kepala yang telah bersanggul. Makna dan simbol yang terkandung dalam mahkota yang terpasang di kepala ini sendiri adalah bahwa mulai hari itu sang mempelai wanita merupakan seorang ratu, baik saat ini selaku pengantin maupun hingga nanti sebagai ratu bagi suami dan rumah tangganya. Disamping itu, dengan memakai mahkota seperti ratu itu di harapkan nantinya dalam mengarungi rumah tangga sang perempuan bersikap layaknya ratu yang tiap laku lampahnya menyorotkan sinar keagungan, menjaga kehormatan suaminya, dan sebagainya.
Kemudian aksesoris lain yang
dipakai oleh pengantin perempuan adalah untaian bunga melati yang menjuntai
dari pelipis hingga ke dada, giwang yang dkenakan di telinga kiri dan kanan,
cincin yang dikenakan di kedua jari manis, kalung tiga susun yang seolah-olah
tertempel pada teratean untuk menghiasi leher dan dada, kelat bahu berbentuk
naga yang dikenakan di bagian lengan dekat bahu yang bermakna bahwa sang
pengantin telah siap secara fisik maupun mental untuk mengarungi bahtera rumah
tangga, gelang kono yang dipakai di kedua pergelangan tangan yang dari
bentuknya yang membulat memiliki makna atau simbol dari kebulatan tekad , sabuk
yang melingkar di pinggang yang terbuat dari emas atau logam lain yang disepuh
dengan warna keemasan dan yang terakhir adalah selop berhias manik-manik yang
motif dan warnanya disesuaikan dengan warna kemben dan teratean pada bagian
dada.
Jika kita amati, busana pengantin
dan aksesoris yang dipakai oleh mempelai wanita ini didominasi oleh kedua jenis
warna yakni hijau dan kuning. Ini jelas bukan sekedar warna tanpa makna. Warna
hijau dalam tradisi Islam merupakan manifestasi dari kata Rahmaan dan kuning
sendiri adalah simbol warna untuk kata rahiim. Jadi kedua warna tadi yaitu
hijau dan kuning merupakan simbol dari kalimat basmalah yang memang merupakan
kalimat yang selalu diucapkan umat Islam setiap akan melakukan sesuatu.
Basmalah adalah gerbang dari segala perbuatan kedepan yang akan dilakukan.
Untuk itu, dengan hijau dan kuning yang berarti mengucap basmalah, mengingatkan
kepada sang pengantin bahwa perkawinan ini haruslah diawali dengan niat baik
demi untuk menggapai ridho Allah.
Untuk bagian atas tubuh pengantin
pria dikenakan baju oblong berwarna putih atau gading. Baju ini berlengan
pendek. Kemudian untuk menutupi bagian dada seperti hanya pada pengantin
perempuan, dikenakanlah teratean dengan motif dan warna yang sama persis dengan
yang dikenakan oleh pengantin perempuan yang memiliki makna bahwa keduanya
memang telah sehati dan seuyunan dalam memutuskan menjadi suami istri.
Satu-satunya yang membedakan teratean yang dikenakan oleh pengantin pria dengan
pengantin perempuan ini hanyalah pada maalah bentuk saja, disesuaikan dengan
lambang yoni dan lingga.
Untuk bagian bawah, pengantin
pria mengenakan celana tiga perempat yang jatuh beberapa centi dibawah lutut.
Celana yang pada bagian bawahnya terdapat sulaman benang emas ini terbuat dari
beludru yang berwarna senada dengan baju yang dikenakan. Pengantin pria juga
memakai kain dodot khas Cirebon dipinggangnya. Lalu di atas dodot batik itu dililitkan
satu helai stagen cinde dan diperkuat dengan kamus epek timang yang juga
terbuat dari beludru.
Tak ketinggalan juga, selendang
dan satu boro kewer yang menghiasi kedua pahanya dibagian depan agak
menyamping. Dan yang terakhir adalah keris yang dikenakan di bagian pinggang
dengan hiasan ombyok dari bunga mawar disela-sela gagangnya. Makna dari keris
ini sendiri adalah untuk mengingatkan kepada mempelai pria bahwa dia harus
melindungi keluarganya dari bahaya yang datang dari luar. Menjaga keselamatan
keluarga merupakan kehormatan terbesar bagi laki-laki.
Untuk aksesoris lain yang dipakai
hampir sama seperti yang dipakai oleh mempelai perempuan yakni cincin, kalung,
kelat bahu berbentuk naga, gelang kono, dan sebagainya.Peninggalan kejayaan Cirebon di masa silam masih dapat dirasakan hingga saat ini. Sebagai kota pelabuhan yang memiliki akses ke dunia luar membuat kota ini mendapat pengaruh dari budaya Cina dan Arab yang dapat dilihat dalam seni dan budaya masyarakatnya, tak terkecuali dalam tata cara pernikahan.
Seperti halnya adat pengantin Jawa, awal dari seluruh upacara ialah acara lamaran. Sewaktu melamar pihak calon mempelai pria membawa sebilah keris untuk melambangkan kesetiaan, juga keperluan dapur selengkap-lengkapnya. Upacara dilanjutkan dengan Siraman Tawandari. Bila pada adat Jawa acara siraman dilakukan secara terpisah di rumah masing-masing calon pengantin putri.
Upacara selanjutnya yang tak
kalah menarik ialah upacara Tunggak Jati Leluhur, yaitu merupakan upacara
ziarah untuk mohon doa restu ke makam leluhur (Sunan Gunung Jati). Dalam upcara
ini pihak calon pengantin pria melakukan ziarah. Setelah selesai kembalikan
lagi ke pini sepuh pihak pengantin pria.
Puncak dari acara ini adalah akad
nikah. Acara dibuka dengan dialog antara pini sepuh wakil dari kedua mempelai
yang isinya adalah ucapan serah terima dari pihak mempelai pria pada mempelai
wanita. Kemudian dilanjutkan dengan acara Ijab Kabul dan upacara temu pengantin
yang sering kita dengar istilah “Temon”.
Diselaraskan dengan budaya
leluhur, masyarakat Cirebon melakukan tahapan upacara adat perkawinan secara
sakral. Berikut adalah tahapannya:
Njegog atau tetali (meminang)
Utusan pihak pria datang ke rumah
orangtua gadis dan menyampaikan maksud kedatangannya meminang anak gadis. Lalu
ibu si gadis akan memanggil anaknya untuk dimintai persetujuan. Si gadis pun
memberikan jawaban disaksikan utusan tersebut. Setelah mendapat jawaban, utusan
dan orangtua si gadis langsung berembug menentukan hari pernikahan. Setelah ada
kesepakatan, utusan mohon diri untuk menyampaikan kepada orangtua pihak pria.
Seserahan
Pada hari seserahan, orangtua
gadis didampingi keluarga dekatnya menerima kedatangan utusan pihak pria yang
disertai rombongan pembawa barang seserahan, antara lain: pembawa buah-buahan,
umbi-umbian, sayur-mayur, pembawa mas picis yaitu mas kawin berupa perhiasan
dan uang untuk diserahkan kepada orangtua gadis.
Siram tawandari
Kedua calon pengantin oleh juru
rias dibawa ke tempat siraman (cungkup) dengan didampingi orangtua dan sesepuh.
Saat berjalan menuju tempat siraman dengan iringan gending nablong, calon
pengantin memakai sarung batik khas Cirebonan yakni kain wadasan.
Biasanya berwarna hijau yang
melambangkan kesuburan. Sebelum siraman, dada dan punggung calon pengantin
diberi luluran lalu juru rias mempersilahkan orangtua dan sesepuh untuk
bergantian menyirami. Setelah selesai, air bekas siraman diberikan kepada anak
gadis dan jejaka yang hadir dengan maksud agar mereka dapat segera mengikuti
jejak calon pengantin. Upacara ini dinamakan bendrong sirat yaitu air bekas
siraman disirat-siratkan atau dipercik-percikan pada anak gadis dan jejaka yang
datang ke acara ini. Apabila calon pengantin masih merupakan keturunan dari
Keraton Kacirebonan biasanya sebelum acara pernikahan dilaksanakan, calon
pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan leluhur
raja-raja Cirebon untuk mendapatkan restu.
Parasan
Setelah acara siraman, upacara
dilanjutkan dengan acara parasan untuk calon pengantin wanita atau ngerik yaitu
membuang rambut halus yang dilakukan juru rias seraya disaksikan oleh orangtua
dan para kerabat. Acara ini diringi dengan music karawitan moblong yang artinya
murub mancur bagaikan bulan purnama.
Tenteng pengantin
Tiba hari pernikahan yang telah
disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk menjemput calon pengantin
pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan menyampaikan maksud
kedatangannya untuk menenteng (membawa) calon pengantin pria ke tempat upacara
pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria tidak ikut dalam
upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu ijab qabul, calon
pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin wanita.
Hal ini menandakan bahwa pria itu
telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang
menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orangtua dan
sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.
Salam temon
Selesai akad nikah dilakukan
upacara salam temon (bertemu). Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau
ambang pintu untuk melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari
kulit, cairan warna putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:
kulit sebagai wadah/tempat, putih
adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang keagungan. Dengan begitu
segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat itu sudah menjadi milik
suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau sejenis batu persegi
panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih. Pengantin pria menginjak
telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka menjadi suami dan ingin
membina rumah tangga serta memiliki keturunan.
Pengantin wanita membasuh kaki
suaminya yang melambangkan kesetiaan dan ingin bersama-sama membina rumah
tangga yang bahagia. Sebelum membasuh kaki, pengantin wanita melakukan sungkem
pada suaminya. Bila pengantin berasal dari keluarga yang cukup berada, biasanya
saat acara salam temon ini diadakan acara gelondongan pangareng yaitu membawa
upeti berupa barang (harta) yang lengkap.
Sawer atau surak
Acara ini diadakan sebagai bentuk
ungkapan rasa bahagia orangtua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka.
Uang receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan sebagai
tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan rezeki, dapat saling menghormati,
hidup harmonis dan serasi.
Pugpugan tawur
Dengan posisi jongkok, kepala
pengantin ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari welit
yaitu ilalang atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar
pernikahan dapat awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta
keduanya dapat memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan
baik. Selesai acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua
pengantin pria lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk
bersama-sama mendampingi pengantin di pelaminan.Adep-adep sekul (makan nasi ketan kuning)
Acara pengantin makan nasi ketan
kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti
bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orangtua pengantin wanita menyuapi
pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orangtua pihak pria memberi
suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian
saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapatkan
butiran nasi ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan
rezeki paling banyak .
Namun rezeki ini tidak boleh
dimakan sendiri dan harus dibagi pada pasangannya. Saat acara berlangsung,
kedua pengantin duduk berhadapan yang melambangkan menyatunya hati suami-istri
untuk membina rumah
tangga bahagia. Selain itu, acara
adep-adep sekul ini juga mengandung arti kerukunan dalam rumah tangga, yaitu
terhadap pasangannya, orangtua, serta mertua.
Sungkem pada orangtua
Kedua pengantin melakukan sembah
sungkem pada orangtua dengan cara mandap (berjongkok) yang merupakan cerminan
rasa hormat dan terima kasih kepada orangtua atas segala kasih sayang dan
bimbingan yang selama ini dicurahkan kepada anaknya. Kedua pengantin juga
memohon doa restu untuk membina rumah tangga sendiri bersama pasangan. Setelah
acara sungkem, dilagukan kidung Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat
menjalankan bahtera rumah tangganya seia, sekata, sehidup, semati.
Pemberian doa restu, ucapan selamat, dan hiburan
Setelah memperoleh restu dari
orangtua, pengantin mendapatkan ucapan selamat berbahagia dari sanak kerabat
yang hadir. Biasanya juga diadakan acara hiburan seperti tari-tarian yaitu tari
topeng, tari bedoyo dan tari tayub.
SUMBER :
http://thehouseofseserahan.blogspot.comhttp://www.sidoharjo.com
http://snowfrogpunyacerita.blogspot.com
http://glowdigitalimages.blogspot.com
http://www.jasapengantin.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar