Sabtu, 12 April 2014

Pernikahan Adat Budaya

PERNIKAHAN ADAT BUDAYA

Busana pengantin Cirebon ada dua macam, yang berwarna hijau kombinasi ungu dengan model kemben dan dilengkapi teratai yang sewarna dengan kemben pada bahu dan dadanya, disebut pakaian pengantin corak kebesaran. Sedangkan yang model kebaya dan jas dari beludru hitam atau hijau disebut busana pengantin bercorak kepangeranan.

Sejak setelah tahun 1985, busana pengantin yang lazim digunakan oleh dua keraton Cirebon yakni Kasepuhan dan Kanoman ditetapkan sebagai busana pengantin Cirebon maka busana pengantin kedua keraton tersebut kini resmi sebagai busana adat pengantin Cirebon. Karena berasal dari dua keraton maka busana pengantin Cirebon pun terbagi menjadi dua macam yakni busana pengantin kepangeranan yang berasal dari keraton Kasepuhan dan busana pengantin kebesaran yang berasal dari keraton Kanoman. Tapi, karena kedua keraton tersebut yang memang pada awalnya merupakan keraton yang sama maka tak heran kiranya jika kemudian aksesoris yang dipakai dalam busana pengantin kedua keraton itu memiliki kesamaan satu sama lain, pun begitu dengan makna-makna dari simbol yang terkandung di dalamnya.

 BUSANA PENGANTIN

1. Busana Pengantin Wanita
Busana yang dikenakan oleh pengantin wanita untuk menutup bagian atas tubuhnya digunakan kemben hijau yang berhiaskan manik-manik warna keemasan, dan untuk menutup bagian bawah sendiri digunakan kain berlancar dan dodot Cirebonan dengan warna dasar violet muda yang diberi motif dengan bentuk besar-besar di setiap pojokannya. Sedangkan untuk bagian dada hingga ke leher digunakan tratean, yaitu sebuah kain yang berbentuk melingkar yang fungsinya untuk menutup bagian dada, bahu hingga ke belikat. Untuk warna, motif dan bahan yang digunakan untuk teratean ini disesuaikan dengan motif, warna dan bahan yang digunakan untuk kemben agar terlihat senada dan tak terkesan tumpang tindih. Makna yang terkandung dalam teratean ini sendiri adalah berasal dari kata teratai yaitu sejenis bunga yang tumbuh di air dan Lumpur tapi memiliki bunga yang sedemikian indah. Jadi dengan kata lain, makna dari teratean ini adalah bahwa pengantin wanita ini ibarat bunga teratai yang sedang mekar, dan tak penting lagi seperti apa asal-usulnya, dari mana ia berasal, dan sebagainya.

Untuk aksesoris yang dipakai pengantin wanita sendiri adalah antara lain mahkota suri berhias permata asem jarot yang dikenakan di kepala yang telah bersanggul. Makna dan simbol yang terkandung dalam mahkota yang terpasang di kepala ini sendiri adalah bahwa mulai hari itu sang mempelai wanita merupakan seorang ratu, baik saat ini selaku pengantin maupun hingga nanti sebagai ratu bagi suami dan rumah tangganya. Disamping itu, dengan memakai mahkota seperti ratu itu di harapkan nantinya dalam mengarungi rumah tangga sang perempuan bersikap layaknya ratu yang tiap laku lampahnya menyorotkan sinar keagungan, menjaga kehormatan suaminya, dan sebagainya. 

Kemudian aksesoris lain yang dipakai oleh pengantin perempuan adalah untaian bunga melati yang menjuntai dari pelipis hingga ke dada, giwang yang dkenakan di telinga kiri dan kanan, cincin yang dikenakan di kedua jari manis, kalung tiga susun yang seolah-olah tertempel pada teratean untuk menghiasi leher dan dada, kelat bahu berbentuk naga yang dikenakan di bagian lengan dekat bahu yang bermakna bahwa sang pengantin telah siap secara fisik maupun mental untuk mengarungi bahtera rumah tangga, gelang kono yang dipakai di kedua pergelangan tangan yang dari bentuknya yang membulat memiliki makna atau simbol dari kebulatan tekad , sabuk yang melingkar di pinggang yang terbuat dari emas atau logam lain yang disepuh dengan warna keemasan dan yang terakhir adalah selop berhias manik-manik yang motif dan warnanya disesuaikan dengan warna kemben dan teratean pada bagian dada.
Jika kita amati, busana pengantin dan aksesoris yang dipakai oleh mempelai wanita ini didominasi oleh kedua jenis warna yakni hijau dan kuning. Ini jelas bukan sekedar warna tanpa makna. Warna hijau dalam tradisi Islam merupakan manifestasi dari kata Rahmaan dan kuning sendiri adalah simbol warna untuk kata rahiim. Jadi kedua warna tadi yaitu hijau dan kuning merupakan simbol dari kalimat basmalah yang memang merupakan kalimat yang selalu diucapkan umat Islam setiap akan melakukan sesuatu. Basmalah adalah gerbang dari segala perbuatan kedepan yang akan dilakukan. Untuk itu, dengan hijau dan kuning yang berarti mengucap basmalah, mengingatkan kepada sang pengantin bahwa perkawinan ini haruslah diawali dengan niat baik demi untuk menggapai ridho Allah.

 2. Busana Pengantin Pria
Pada bagian kepala pengantin pria dikenakan sebuah mahkota yang berbentuk bundar dan menyempit keatas dengan tinggi sekitar 25 cm dan terbuat dari bahan beludru berwarna hijau yang dilapisi dengan emas dan permata di sekeliling lingkarannya. Makna simbolik dari mahkota yang disebut sebagai mahkota Prabu Kresna ini adalah bahwa dengan memakai mahkota ini diharapkan nantinya sang pengantin pria kelak ketika memimpin rumah tangganya memiliki kcakapan seperti halnya prabu Kresna yang dikenal sangat adil, bijaksana, dan tangguh dalam melindungi keluarganya.

Untuk bagian atas tubuh pengantin pria dikenakan baju oblong berwarna putih atau gading. Baju ini berlengan pendek. Kemudian untuk menutupi bagian dada seperti hanya pada pengantin perempuan, dikenakanlah teratean dengan motif dan warna yang sama persis dengan yang dikenakan oleh pengantin perempuan yang memiliki makna bahwa keduanya memang telah sehati dan seuyunan dalam memutuskan menjadi suami istri. Satu-satunya yang membedakan teratean yang dikenakan oleh pengantin pria dengan pengantin perempuan ini hanyalah pada maalah bentuk saja, disesuaikan dengan lambang yoni dan lingga.
Untuk bagian bawah, pengantin pria mengenakan celana tiga perempat yang jatuh beberapa centi dibawah lutut. Celana yang pada bagian bawahnya terdapat sulaman benang emas ini terbuat dari beludru yang berwarna senada dengan baju yang dikenakan. Pengantin pria juga memakai kain dodot khas Cirebon dipinggangnya. Lalu di atas dodot batik itu dililitkan satu helai stagen cinde dan diperkuat dengan kamus epek timang yang juga terbuat dari beludru. 

Tak ketinggalan juga, selendang dan satu boro kewer yang menghiasi kedua pahanya dibagian depan agak menyamping. Dan yang terakhir adalah keris yang dikenakan di bagian pinggang dengan hiasan ombyok dari bunga mawar disela-sela gagangnya. Makna dari keris ini sendiri adalah untuk mengingatkan kepada mempelai pria bahwa dia harus melindungi keluarganya dari bahaya yang datang dari luar. Menjaga keselamatan keluarga merupakan kehormatan terbesar bagi laki-laki.
Untuk aksesoris lain yang dipakai hampir sama seperti yang dipakai oleh mempelai perempuan yakni cincin, kalung, kelat bahu berbentuk naga, gelang kono, dan sebagainya.

 UPACARA ADAT CIREBON
Cirebon merupakan kota yang berposisi di pesisir utara perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah dimana pernah mengalami masa kejayaan sebagai salah satu pusat perkembangan agama Islam di Pulau Jawa. Ditunjang posisi geografisnya, Cirebon memiliki kekayaan budaya yang beragam dengan keunikan dan daya tarik tersendiri. Cirebon juga memiliki potensi budaya, seni dan ekonomi yang tinggi.

Peninggalan kejayaan Cirebon di masa silam masih dapat dirasakan hingga saat ini. Sebagai kota pelabuhan yang memiliki akses ke dunia luar membuat kota ini mendapat pengaruh dari budaya Cina dan Arab yang dapat dilihat dalam seni dan budaya masyarakatnya, tak terkecuali dalam tata cara pernikahan.

Seperti halnya adat pengantin Jawa, awal dari seluruh upacara ialah acara lamaran. Sewaktu melamar pihak calon mempelai pria membawa sebilah keris untuk melambangkan kesetiaan, juga keperluan dapur selengkap-lengkapnya. Upacara dilanjutkan dengan Siraman Tawandari. Bila pada adat Jawa acara siraman dilakukan secara terpisah di rumah masing-masing calon pengantin putri.

Upacara selanjutnya yang tak kalah menarik ialah upacara Tunggak Jati Leluhur, yaitu merupakan upacara ziarah untuk mohon doa restu ke makam leluhur (Sunan Gunung Jati). Dalam upcara ini pihak calon pengantin pria melakukan ziarah. Setelah selesai kembalikan lagi ke pini sepuh pihak pengantin pria.
Puncak dari acara ini adalah akad nikah. Acara dibuka dengan dialog antara pini sepuh wakil dari kedua mempelai yang isinya adalah ucapan serah terima dari pihak mempelai pria pada mempelai wanita. Kemudian dilanjutkan dengan acara Ijab Kabul dan upacara temu pengantin yang sering kita dengar istilah “Temon”.

Diselaraskan dengan budaya leluhur, masyarakat Cirebon melakukan tahapan upacara adat perkawinan secara sakral. Berikut adalah tahapannya:

Njegog atau tetali (meminang)
Utusan pihak pria datang ke rumah orangtua gadis dan menyampaikan maksud kedatangannya meminang anak gadis. Lalu ibu si gadis akan memanggil anaknya untuk dimintai persetujuan. Si gadis pun memberikan jawaban disaksikan utusan tersebut. Setelah mendapat jawaban, utusan dan orangtua si gadis langsung berembug menentukan hari pernikahan. Setelah ada kesepakatan, utusan mohon diri untuk menyampaikan kepada orangtua pihak pria.

Seserahan
Pada hari seserahan, orangtua gadis didampingi keluarga dekatnya menerima kedatangan utusan pihak pria yang disertai rombongan pembawa barang seserahan, antara lain: pembawa buah-buahan, umbi-umbian, sayur-mayur, pembawa mas picis yaitu mas kawin berupa perhiasan dan uang untuk diserahkan kepada orangtua gadis.

Siram tawandari
Kedua calon pengantin oleh juru rias dibawa ke tempat siraman (cungkup) dengan didampingi orangtua dan sesepuh. Saat berjalan menuju tempat siraman dengan iringan gending nablong, calon pengantin memakai sarung batik khas Cirebonan yakni kain wadasan.

Biasanya berwarna hijau yang melambangkan kesuburan. Sebelum siraman, dada dan punggung calon pengantin diberi luluran lalu juru rias mempersilahkan orangtua dan sesepuh untuk bergantian menyirami. Setelah selesai, air bekas siraman diberikan kepada anak gadis dan jejaka yang hadir dengan maksud agar mereka dapat segera mengikuti jejak calon pengantin. Upacara ini dinamakan bendrong sirat yaitu air bekas siraman disirat-siratkan atau dipercik-percikan pada anak gadis dan jejaka yang datang ke acara ini. Apabila calon pengantin masih merupakan keturunan dari Keraton Kacirebonan biasanya sebelum acara pernikahan dilaksanakan, calon pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan leluhur raja-raja Cirebon untuk mendapatkan restu.

Parasan
Setelah acara siraman, upacara dilanjutkan dengan acara parasan untuk calon pengantin wanita atau ngerik yaitu membuang rambut halus yang dilakukan juru rias seraya disaksikan oleh orangtua dan para kerabat. Acara ini diringi dengan music karawitan moblong yang artinya murub mancur bagaikan bulan purnama.

Tenteng pengantin
Tiba hari pernikahan yang telah disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk menjemput calon pengantin pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan menyampaikan maksud kedatangannya untuk menenteng (membawa) calon pengantin pria ke tempat upacara pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria tidak ikut dalam upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu ijab qabul, calon pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin wanita. 

Hal ini menandakan bahwa pria itu telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orangtua dan sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.

Salam temon
Selesai akad nikah dilakukan upacara salam temon (bertemu). Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau ambang pintu untuk melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari kulit, cairan warna putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:

kulit sebagai wadah/tempat, putih adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang keagungan. Dengan begitu segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat itu sudah menjadi milik suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau sejenis batu persegi panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih. Pengantin pria menginjak telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka menjadi suami dan ingin membina rumah tangga serta memiliki keturunan. 
Pengantin wanita membasuh kaki suaminya yang melambangkan kesetiaan dan ingin bersama-sama membina rumah tangga yang bahagia. Sebelum membasuh kaki, pengantin wanita melakukan sungkem pada suaminya. Bila pengantin berasal dari keluarga yang cukup berada, biasanya saat acara salam temon ini diadakan acara gelondongan pangareng yaitu membawa upeti berupa barang (harta) yang lengkap.

Sawer atau surak
Acara ini diadakan sebagai bentuk ungkapan rasa bahagia orangtua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka. Uang receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan sebagai tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan rezeki, dapat saling menghormati, hidup harmonis dan serasi.

Pugpugan tawur
Dengan posisi jongkok, kepala pengantin ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari welit yaitu ilalang atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar pernikahan dapat awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta keduanya dapat memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan baik. Selesai acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua pengantin pria lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk bersama-sama mendampingi pengantin di pelaminan.

Adep-adep sekul (makan nasi ketan kuning)

Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orangtua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orangtua pihak pria memberi suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapatkan butiran nasi ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan rezeki paling banyak .
Namun rezeki ini tidak boleh dimakan sendiri dan harus dibagi pada pasangannya. Saat acara berlangsung, kedua pengantin duduk berhadapan yang melambangkan menyatunya hati suami-istri untuk membina rumah

tangga bahagia. Selain itu, acara adep-adep sekul ini juga mengandung arti kerukunan dalam rumah tangga, yaitu terhadap pasangannya, orangtua, serta mertua.

Sungkem pada orangtua
Kedua pengantin melakukan sembah sungkem pada orangtua dengan cara mandap (berjongkok) yang merupakan cerminan rasa hormat dan terima kasih kepada orangtua atas segala kasih sayang dan bimbingan yang selama ini dicurahkan kepada anaknya. Kedua pengantin juga memohon doa restu untuk membina rumah tangga sendiri bersama pasangan. Setelah acara sungkem, dilagukan kidung Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat menjalankan bahtera rumah tangganya seia, sekata, sehidup, semati.

Pemberian doa restu, ucapan selamat, dan hiburan
Setelah memperoleh restu dari orangtua, pengantin mendapatkan ucapan selamat berbahagia dari sanak kerabat yang hadir. Biasanya juga diadakan acara hiburan seperti tari-tarian yaitu tari topeng, tari bedoyo dan tari tayub.

SUMBER :
http://thehouseofseserahan.blogspot.com
http://www.sidoharjo.com
http://snowfrogpunyacerita.blogspot.com
http://glowdigitalimages.blogspot.com
http://www.jasapengantin.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

u
d
n
a
l
u
w
i
T
k
a
d
u
B